Raja News - Angka kematian yang disebabkan oleh bunuh diri di dunia sangat tinggi. Salahsatunya dipengaruhi kesadaran masyarakat atas perilaku bunuh diri masih rendah.
Dokter spesialis kejiwaan, Dr dr Elmeida Effendy MKed KJ SpKJ (K), menyebutkan, sejak tahun 2003 lalu, setiap tanggal 10 September selalu diperingati sebagai hari anti bunuh diri sedunia (world suicide prevention day). Hal ini diharapkan, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenali tanda risiko bunuh diri khususnya dalam keluarga terdekat.
"Kesadaran masyarakat terkait pencegahan bunuh diri masih rendah. Padahal tindakan ini bisa dicegah bila kita memberikan perhatian dan peduli terhadap orang-orang di sekitar, dengan mengenali tanda risiko dari orang yang ingin melakukannya," ungkapnya kepada wartawan, Minggu (10/09/2017).
Adapun tanda risiko bunuh diri tersebut jelas Elmeida, umumnya berupa, sering membicarakan kematian, mengutarakan keputusasaan, marah tiba-tiba, suka menyakiti diri sendiri, menggunakan narkoba atau mabuk, menarik diri dari lingkungan dan kehilangan minat. Selain itu, sebut dia, orang yang mengalami gangguan jiwa, seperti bipolar, depresi, skizofrenia dan gangguan kepribadian, juga sangat berisiko dalam melakukan aksi bunuh diri.
"Untuk menghindari risiko bunuh diri, keluarga harus memberikan perhatian ekstra. Rangkul dan ajak bicara, lalu bujuk untuk berkonsultasi ke psikiater atau psikolog," ucapnya.
Elmeida juga mengatakan, banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai melakukan bunuh diri. Misalnya, putus asa karena rasa bersalah yang berlebihan, kemudian terjerat persoalan ekonomi, percintaan, kehilangan pekerjaan, korban bullying, hingga tahanan penjara.
Pada orang-orang yang lemah, sambung dia, mudah terpengaruh jika menonton atau membaca kisah tentang bunuh diri. Sehingga, sangat tidak dianjurkan untuk melihatnya, apalagi dalam kondisi mental yang labil. "Untuk itu, keluarga harus terus memberikan semangat, tidak boleh menyalahkan. Selalu amati gerak geriknya dan jangan dibiarkan sendiri," ujarnya.
Menurut Elmeida, riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri juga bisa menjadi pemicu hal serupa pada orang sekitarnya. Sebab, umumnya bunuh diri dilakukan akibat tersugesti dari orang yang telah melakukannya sebelumnya.
Di Indonesia sendiri, ujar Elmeida, angka bunuh diri mencakup lebih dari 10.000 kasus per tahun. Sedangkan berdasarkan data WHO 2017, orang meninggal karena bunuh diri mencapai hingga 800.000 kasus. Sementara angka percobaan bunuh diri sebanyak 25 kali lipat dari angka tersebut, dan setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri. "Karenanya psikiater harus berperan aktif dalam mengurangi kasus bunuh diri tersebut. Bukan hanya dengan cara kuratif, tetapi juga dalam hal preventif," pungkasnya.
Dokter spesialis kejiwaan, Dr dr Elmeida Effendy MKed KJ SpKJ (K), menyebutkan, sejak tahun 2003 lalu, setiap tanggal 10 September selalu diperingati sebagai hari anti bunuh diri sedunia (world suicide prevention day). Hal ini diharapkan, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenali tanda risiko bunuh diri khususnya dalam keluarga terdekat.
"Kesadaran masyarakat terkait pencegahan bunuh diri masih rendah. Padahal tindakan ini bisa dicegah bila kita memberikan perhatian dan peduli terhadap orang-orang di sekitar, dengan mengenali tanda risiko dari orang yang ingin melakukannya," ungkapnya kepada wartawan, Minggu (10/09/2017).
Adapun tanda risiko bunuh diri tersebut jelas Elmeida, umumnya berupa, sering membicarakan kematian, mengutarakan keputusasaan, marah tiba-tiba, suka menyakiti diri sendiri, menggunakan narkoba atau mabuk, menarik diri dari lingkungan dan kehilangan minat. Selain itu, sebut dia, orang yang mengalami gangguan jiwa, seperti bipolar, depresi, skizofrenia dan gangguan kepribadian, juga sangat berisiko dalam melakukan aksi bunuh diri.
"Untuk menghindari risiko bunuh diri, keluarga harus memberikan perhatian ekstra. Rangkul dan ajak bicara, lalu bujuk untuk berkonsultasi ke psikiater atau psikolog," ucapnya.
Elmeida juga mengatakan, banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai melakukan bunuh diri. Misalnya, putus asa karena rasa bersalah yang berlebihan, kemudian terjerat persoalan ekonomi, percintaan, kehilangan pekerjaan, korban bullying, hingga tahanan penjara.
Pada orang-orang yang lemah, sambung dia, mudah terpengaruh jika menonton atau membaca kisah tentang bunuh diri. Sehingga, sangat tidak dianjurkan untuk melihatnya, apalagi dalam kondisi mental yang labil. "Untuk itu, keluarga harus terus memberikan semangat, tidak boleh menyalahkan. Selalu amati gerak geriknya dan jangan dibiarkan sendiri," ujarnya.
Menurut Elmeida, riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri juga bisa menjadi pemicu hal serupa pada orang sekitarnya. Sebab, umumnya bunuh diri dilakukan akibat tersugesti dari orang yang telah melakukannya sebelumnya.
Di Indonesia sendiri, ujar Elmeida, angka bunuh diri mencakup lebih dari 10.000 kasus per tahun. Sedangkan berdasarkan data WHO 2017, orang meninggal karena bunuh diri mencapai hingga 800.000 kasus. Sementara angka percobaan bunuh diri sebanyak 25 kali lipat dari angka tersebut, dan setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri. "Karenanya psikiater harus berperan aktif dalam mengurangi kasus bunuh diri tersebut. Bukan hanya dengan cara kuratif, tetapi juga dalam hal preventif," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar